IKLAN

" width="1000" height="100" />" width="1000" height="100" />

Minggu, 29 Januari 2012

kalau bukan kita siapa lagi bung


BERHENTIKAN BUPATI ?



Seorang Bupati yang telah terpilih dalam suatu pesta demokrasi lokal melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) dan telah dilantik dalam acara seremoniial yang sangat meriah, akan membayangkan betapa tinggi kedudukan dan kekuasaannya sebagai orang Nomor Wahid didaerahnya. Apalagi yang bersangkutan memang telah memiliki dasar kepribadian sebagai “feodalis” dengan lingkaran keluarga dan kroni yang hanya melihat bahwa jabatan tertinggi itu adalah peluang yang sangat berpotensi untuk menjadi “berkuasa” disegala sektor kehidupan. Peluang selama lima tahun ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mengumpulkan kekayaan sebagai persiapan anak cucu kelak. Pikiran yang ada didalam otak mereka hanyalah bagaimana membagi-bagi jabatan dan proyek yang dapat melanggengkan kekuasaan untuk periode berikutnya.
Pikiran dan angan Bupati bersama keluarga dan kroninya itu berupaya direalisasikan tanpa mempertimbangkan lagi bahwa dalam tatanan kekuasaan berpemerintahan ternyata ada batasan yang diberikan oleh negara melalui perangkat aturan perundang-undangan yang akan me-rem segala rencananya. Peraturan perundang-undangan inilah mengatur sampai batas mana kekuasaan yang diberikan kepadanya dan apabila dilanggar akan berakibat hukum baginya. Dalam tingkat tertentu ketika pelanggaran itu telah berakibat terhadap kerugian bagi negara dan masyarakat, maka seorang Bupati harus rela diberhentikan dari jabatannya demi kepentingan bangsa, negara dan masyarakat.
Kapan dan bagaimana seorang Bupati diberhentikan dari jabatannya telah diatur secara tegas dalam Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa Kepala Daerah dapat diberhentikan, karena : a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau   c. diberhentikan. Ayat (2), Kepala Daerah diberhentikan sebagaimana huruf c    karena :
a.  berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;
b.  tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6(enam) bulan;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala Daerah;
d.  dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah;
e.  tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah;
f. melanggar larangan bagi Kepala Daerah.
Khusus untuk pemberhentian Bupati karena permasalahan yang sebagaimana huruf d. Dinyatakan ,melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah, huruf e. Tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah, dan huruf f. Melanggar larangan bagi Kepala Daerah di atas, maka berikut ini penulis kemukakan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur hal tersebut :
Pasal 110 ayat (2) menyatakan “Sumpah/janji Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa”.
Pasal 27 ayat (1) “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai kewajiban :
a.  memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.  meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
d.  melaksanakan kehidupan demokrasi;
e.  menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
f. menjaga etika dan norma dalam penyelengaraan pemerintahan daerah;
g.  memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
h.  melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
i. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah; menjalin hubungan kerja dengan seluruh j. instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah;
k. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintah daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.
Ayat (2) menyatakan bahwa “Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), Kepala Daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban penyelengaraan pemerintahan daerah kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Pasal 28 menyatakan “ Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilarang :
a.  membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;
b.  turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;
c. melekukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;
d.  melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
e.  menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam Pasal 25 huruf  f;
f. menyalagunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;
g.  merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa Kepala Daerah dapat diberhentikan, karena : a. meninggal dunia; b.permintaan sendiri; atau c. diberhentikan. Ayat (2),Kepala Daerah diberhentikan sebagaimana huruf c karena :
a.  berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejbat yang baru;
b.  tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6(enam) bulan;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala Daerah;
d.  dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah;
e.  tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah;
f. melanggar larangan bagi Kepala Daerah
Ayat (3) “Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a dan huruf b serta Ayat (2) huruf a dan huruf b diberitahukan kepada Pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh Pimpinan DPRD.
Ayat (4) Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) huruf d dan huruf e dilaksanakan dengan ketentuan :
a.  Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan kepada Presiden berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
b.  Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir;
c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRD itu diterima oleh Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final;
d.  Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kepada Presiden;
e.  Presiden wajib memproses usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.
Pasal 30 Ayat (1) “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan Pengadilan. Ayat (2) “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 31 Ayat (1) “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara”. Ayat (2) “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Pasal 32 mengatur tentang pemberhentian karena krisis kepercayaan yang dialami Kepala Daerah, sebagai berikut :
(1)   Dalam hal Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya.
(2)   Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksnakan setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.
(3)   Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1), DPRD menyerahkan proses penyelesaiannya kepada aparat penegak hukum sesuai dengan perundang-undangan.
(4)   Apabila Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana paling singkat 5(lima) tahun atau leih berdasarkan putusan Pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPRD mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD.
(5)   Berdasarkan keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden menetapkan pemberhentian sementara Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.
(6)   Apabila Kepala Daerag dan/atau Wakil Kepala Daerah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) anggota DPRD, dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir;
(7)   Berdasarkan keputusan DPRD yang dimaksud pada ayat (6), Presiden memberhentikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala  Daerah.
Memperhatikan dan mencermati ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut di atas, khususnya yang mengatur mengenai sumpah jabatan, kewajiban dan larangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta proses dan mekanisme pelaksanakan pemberhentiannya, maka secara sederhana dapat dikatakan memberhentikan Kepala Daerah (Gubernur,Bupati/Walikota) bukanlah pekerjaan yang sulit seperti yang dibayangkan oleh masyarakat umum selama ini. Kuncinya terletak pada sikap dan prilaku kritis masyarakat terhadap pelaksanaan tugas, fungsi, kewenangan dan kewajiban seorang Kepala Daerah dalam memimpin  penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Tentunya juga tidak lepas dari berfungsi dan berperannya DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang akan mengotrol jalannya penyelenggaraan pemerintahan di bawah komando Kepala Daerah.
Pemberhentian seorang Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) akan lebih mudah lagi apabila Kepala Daerah yang bersangkutan  berkarakter sebagai pejabat politik yang mengandalkan pendekatan kekuasaan dalam  memimpin daerahnya. Karakter pemimpin seperti ini akan dengan mudah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk kepentingan dirinya sendiri, keluarga dan kroninya, sehingga dia tidak akan menyadari bahwa apa yang dilakukannya telah jauh menyimpang dan melupakan sumpah jabatan, kewajiban dan larangan bagi dirinya sebagai Kepala Daerah. Pelanggaran terhadap sumpah jabatan, melalaikan kewajiban dan secara terus menerus melakukan dan tidak mengindahkan  larangan yang telah ditetapkan undang-undang, maka akhirnya Kepala Daerah yang bersangkutan akan terjerumus pada pelanggaran-pelanggaran  tersebut. Akhirnya, Kepala Daerah diberhentikan dari jabatannya sebelum periodenya berakhir.
Semoga tulisan ini dapat mengingatkan para Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) bahwa kekuasaan dan kewenangan sebagai Kepala Daerah itu dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan kekuasaan mutlak tanpa batas yang dapat dijalankan sesuai kemauan dan keinginan kita sendiri. Dan kepada masyarakat, tulisan ini akan menjadi pegangan dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Terima kasih,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar