IKLAN

" width="1000" height="100" />" width="1000" height="100" />

Rabu, 01 Februari 2012


BUDAYAWAN  terkenal Mochtar Lubis menyatakan “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah hipokritis alias munafik. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bencana bagi dirinya.”
Memang beliau bukanlah seorang antropolog atau sosiolog dan tulisannya tentang manusia Indonesia tidak ilmiah, tapi banyak pakar menyatakan pendapatnya belum tentu salah.
Menurut Prof Ketut, seorang professor fakultas ilmu budaya, “Budaya adalah nilai bersama yang diulang terus-menerus sehingga menjadi gerakan bawah sadar.” Sehingga mungkin saja fenomena kepura-puran bila dilakukan terus-menerus lama-lama menjadi membudaya bagi bangsa Indonesia.
Apakah definisi munafik yang dikatakan oleh Mochtar Lubis sama dengan definisi munafik yang dikatakan dalam Al-Qur’an. Marilah kita menyimak ayat-ayat di bawah ini:
“Dan di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” padahal mereka bukanlah orang yang beriman.”
”Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedangkan mereka tidak sadar.” (Al-Baqarah ayat 8-9)
”Dan apabila dikatakan kepada mereka, ”Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman, ” mereka menjawab, ”Apakah kami akan beriman sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh akan tetapi mereka tidak mengetahui.”
”Dan apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ”Kami telah beriman”. Dan apabila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, ”Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanyalah orang yang memperolok-olokkan.”  (Al-Baqarah ayat 13-14)
”Apabila orang-orang munafik datang kepadamu dan berkata, ”Kami mengakui bahwa sesuangguhnya engkau adalah utusan Allah.” Dan Allah mengetahui sesungguhnya engkau adalah utusanNya. Dan Allah menyaksikan sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.”
”Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai pelindung, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan.” (Al-Munafiquun ayat 1-2)
Definisi munafik dalam ayat al-Qur’an adalah orang yang berpura-pura beriman untuk menipu orang lain. Ayat-ayat ini merujuk pada orang-orang yahudi di Madinah yang pura-pura mengakui kenabian Rasulullah namun sebenarnya mereka hanya mencari aman saja. Di belakang rasulullah, mereka tidak sholat dan juga tidak mau berzakat. Di sisi lain, mereka juga diam-diam berkomplot dengan kaum kafir Qurays untuk menyingkirkan Rasulullah dari Madinah, jadi mereka hanya pura-pura beriman dan baik terhadap Nabi. Mungkin hampir sama dengan  definisi Mochtar Lubis ”Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang”. Dari sebuah hadist disebutkan ciri orang munafik ada 3:
-          Bila berkata, dia berdusta
-          Bila berjanji, ia mengingkari
-          Bila dipercaya, dia berkhianat
Bila merujuk pada ayat Al-qur’an di atas, di Indonesia juga banyak orang-orang yang pura-pura beriman. Banyak orang yang tidak sholat tapi berbondong-bondong bila menerima zakat atau qurban. Adapula yang hari raya idul fitri jadi islam, hari natal meminta-minta di gereja, lalu saat imlek ikut meminta sumbangan di kelenteng dan vihara. Lalu bagaimana dengan orang yang ibadahnya bagus tapi tetap berlaku maksiat? Apakah mereka sama dengan orang munafik? Bisa jadi mereka beriman hanya imannya kurang atau pengetahuan agamanya belum mendalam. Bisa jadi pula mereka memang hanya pura-pura beriman.
Bila merujuk al-hadits tentang ciri-ciri orang munafik, tentu saja karena penuh kepura-puraan, orang munafik akan sering berdusta, ingkar janji dan yang jelas ia berkhianat karena telah menipu orang yang telah mempercayainya. Lalu bagaimana dengan budaya penipuan massal di Indonesia? Misalnya budaya korupsi massal atau budaya mencontek massal. Bukan rahasia lagi, orang yang jujur di birokrasi atau anak yang tidak mencontek  akan dimusuhi oleh rekan-rekannya. Kepura-puraan, penipuan dan kebohongan telah menjadi wajar atas nama mayoritas. Begitu pula masalah ingkar janji, banyak sekali pengusaha yang menipu dengan kontrak palsu atau orang yang berhutang enggan membayar. Pengkhianatan? Berapa kali anda melihat orang yang digaji bekerja malah membolos atau kerjanya asal-asalan, namun kalau ada masalah tidak mau bertanggung jawab bilang “bukan saya”?
Kalau memang bangsa Indonesia itu suka menipu, bahkan ada pepatah, “kalau jujur akan terbujur, kalau ikhlas akan tergilas.” Namun apakah mereka sama dengan orang-orang munafik yahudi madinah yang disebut dalam Al-qur’an? Munafik yang disebut dalam al-qur’an adalah pura-pura beriman sedangkan bangsa Indonesia menipu dalam hal lain, misal berpura-pura kerja, berpura-pura kaya, berpura-pura pintar, dll. Tapi bukankah iman kepada Allah berarti beriman pula bahwa Allah Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui segala sesuatu. Mungkin ia bermaksud menipu manusia bukan Allah, namun kalau memang beriman kepada hari akhir kenapa harus berpura-pura dan berdusta padahal mereka mengetahui dusta itu akan membawa mereka pada neraka seperti yang disampaikan pada ayat al-qur’an dan hadits berikut:
”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah ayat 19)
”Sesungguhnya kejujuran hanya membawa pada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan pada surga. Sesungguhnya seorang biasa berlaku jujur sehingga disebut as-shidiq. Sedangkan dusta hanya mengantar pada perilaku dzalim dan perilaku yang mengantar pada neraka. Sesungguhnya orang biasa berlaku dusta disebut pendusta besar.” (al-hadist Bukhari Muslim)
Bila ditelaah lagi, mungkin saja bangsa Indonesia ini lemah iman dan belum memahami bahaya ketidakjujuran mereka di hari akhir nanti sangat mengerikan. Jadi budaya ketidakjujuran itu murni karena bodoh dan lemah iman bukan berarti mereka tidak percaya kepada Allah dan hari akhir. Tapi bukankah banyak juga yang tidak peduli dengan norma agama dan menganggapnya omong kosong namun dalam masyarakat tetap ingin terlihat sebagai orang yang religius dan baik? Jadi sebenarnya dia atheis tapi untuk menjaga imej sosialnya, ia pura-pura beriman. Bukankah ini sama saja dengan perilaku yahudi madinah yang pura-pura beriman pada Rasulullah untuk mencari aman?
Saya pun menyadari bahwa al-qur’an ditujukan untuk semesta alam, sehingga definisi orang munafik ini tidak stereotip ditujukan pada satu kaum atau golongan saja. Walaupun dalam teks Al-qur’an sering ditampilkan kisah-kisah kaum yang ingkar kepada rasulNya yang akhirnya mendapat azab seperti bani israil, kaum aad, kaum tsamud, kaum madyan, kaum soddom, dll. Namun keimanan seseorang tidak ditentukan dari kaumnya. Bukankah terdapat hadist yang yang menyatakan: ”Seseorang yang meniru suatu kaum adalah bagian dari kaum itu.”
Bila hadits tersebut dapat dianologikan, maka akan seperti ini: seorang arab yang meniru budaya jahiliyah seperti membunuh bayi perempuan dan menyembah roti maka ia termasuk orang jahiliyah, seorang arab yang meniru budaya islam, menuanikan sholat, zakat, menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka ia termasuk orang islam (muslim).
Tidak semua orang Indonesia mengikuti kejahiliyahan orang-orang di sekitarnya seperti ikut korupsi asal bersama-sama, ikut menyontek asal bersama-sama, ikut bermaksiat asal bersama-sama, sholat hanya kalau hari raya, dll. Masih banyak juga manusia Indonesia yang lebih memilih prinsip islam walaupun dengan konseukensi tidak diterima dalam pergaulannya. Maka tidak pantas juga untuk menyamaratakan semua manusia Indonesia munafik, pada akhirnya kembali lagi pada individunya, mana jalan yang ia pilih, hidup dengan kepura-puraan atau hidup dengan kejujuran dan keikhlasan.
Pelajaran yang kita ambil dari kisah-kisah orang munafik baik dari al-qur’an dan al-hadist adalah jangan meniru mereka karena kita tidak bisa menipu Allah dan para malaikat. Dengan berperilaku munafik, kita hanya menipu diri sendiri yang akhirnya justru membawa kita ke neraka. Mudah-mudahan kita tidak menjadi orang-orang yang demikian, amin ya robbal alamin.
Dari sudut psikologi, sikap munafik hanya dimiliki orang-orang yang berkepribadian labil, impulsif dan situasional. Tidak adanya kesatuan pikiran, ucapan dan tindakan. Mudah mengucapkan janji, tapi realisasinya tak ada. Mudah membuat perintah,instruksi,membentuk tim ini tim itu,satgas ini satgas itu, tapi hasilnya tak signifikan sebab tak adanya kesatuan pikiran,ucapan dan tindakan. Maka, jadilah dia seorang pemimpin atau wakil rakyat yang munafik.
Sumber: Dari berbagai sumber.
http://natanedan.wordpress.com/2010/01/29/apakah-bangsa-indonesia-munafik/
Sumber foto: ibnuyusufalmalaki.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar